Saturday, May 31, 2008

BBM dan GURU

Asalnya kita mengenal BBM itu Bahan Bakar Minyak. Karena kebanyakan mengkonsumsi minyak, maka terpeleset menjadi Benar-Benar Mabok. Akibatnya sekarang, Benar-benar Marah.

Seperti halnya dalam bahasa Sunda, asalnya kita mengenal GURU sebagai "nu kudu diguGu jeung ditiRU"; diguGU artinya ditaati, sedangkan ditiRU berarti dicontoh. Yang terjadi kemudian sebagian GURU terpeleset masuk kelompok "orang gaGU malah ditiRU". Ya serba salah.

Ini tidak bermaksud menuduh GURU biang keladi kenaikan BBM atau marahnya sebagian masyarakat terhadap kenaikan BBM. Dalam pandangan saya, semata-mata ini sebagai introspeksi. Yang paling bertanggung jawab terhadap perkembangan anak adalah GURU. Setuju atau tidak setuju, Presiden sekalipun asalnya seorang murid, sehingga kesalahan kebijakan presiden termasuk menaikkan BBM (kalau benar) sebagian terletak pada kesalahan GURU-nya.

Hanya saja, GURU di sini luas artinya. Dalam sebuah petuah yang saya ingat ketika sekolah bahwa PENGALAMAN ADALAH GURU YANG TERBAIK. Yang membentuk pengalaman seseorang adalah lingkungan. Itu sebabnya dalam dunia pendidikan ada teori konvergensi, yakni teori yang menyatakan bahwa seseorang dibentuk oleh dua lingkungan, yakni dirinya sendiri (faktor intern) dan di luar dirinya (faktor ekstern). Faktor ekstern meliputi instrumental input dan environmental input. Faktor ekstern yang kedua inilah yang kadang terlupakan oleh banyak orang, bahkan pada sebagiannya muncul konsep pendidikan baru bahwa setelah seseorang bersekolah maka lepas tanggung jawab orangtuanya berkenaan dengan pembentukan orang tersebut. Rumahku adalah sekolahku dan sekolahku adalah rumahku, begitu kira-kira seharusnya. Paling tidak rumahku sekolahku, sehingga proses pembentukan seseorang tidak bisa dilepaskan dari lingkungan yang paling kecil.

Kalau begitu, sepertinya ada yang salah di lingkungan kita yang paling kecil. Secara hirarkhi, dalam pandangan saya lingkungan jika diurutkan dari paling bawah adalah lingkungan keluarga, lingkungan RT, lingkungan RW, daan seterusnya.

Saya pernah memancing seseorang dengan mengatakan, "Perhatian pemerintah selalu terlambat di antaranya karena tidak tanggapnya pemerintahan terkecil; RT, RW, Desa, Kecamatan, Kabupaten (jika tingkat otonomi daerah terendah adalah Kabupaten). Contoh kasus, masyarakat miskin sakit parah berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun dan tidak mampu berobat mendapat perhatian pemerintah setelah kasus itu diangkat oleh sebuah media massa. Ini lucu, apakah lingkungan RT, RW, kecamatan, kabupaten betul-betul tidak dapat mendeteksi hal itu atau sibuk dengan urusan lainnya? Ataukah masyarakat memandang Presiden itu harus berkaca kepada Umar bin Khattab r.a. atau Sunan Kalijaga yang harus terjun langsung ke masyarakat dari Sabang sampai merauke (?) harus berapa lama (kata Gus Dur) seorang presiden harus menjabat."

Anda tahu jawabannya? Dia mengatakan, "Ada masyarakat yang mengalami hal serupa itu, tetapi tidak mau diekspos, baik karena kesadarannya akan takdir yang menimpanya atau kesombongan yang melingkupinya."

Dalam al-Quran surat al-Insaan (S. 76:2) Allah berfirman, "Innaa khalaqna 'l-insaana min nuthfatin amsyaajin nabtaliihi faja'alnaahu samii'an bashiiroo";  "Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur (antara benih lelaki dengan perempuan) yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat."

Mengapa masyarakat Benar-Benar Marah gara-gara kenaikan BBM? Karena mereka mendengar dan melihat.

Mengapa orang gaGU yang ditiRU teralamatkan pada GURU? Karena mereka mendengar dan melihat.

Mengapa Guru menjadi Benar-Benar Marah? Karena mereka mendengar dan melihat.

Mereka mendengar dan melihat kemudian bereaksi, berarti mereka berakal. Hanya tentunya, orang yang berakal akan lebih mementingkan kepentingan umum daripada kepentingan dirinya sendiri. Maka, segala sesuatu yang terjadi pada kita pandanglah sebagai suatu ujian, karena manusia hidup pasti mengalami ujian dan menghadapi ujian, seperti halnya Ujian Nasional harus mendapatkan nilai rata-rata 6,00 untuk standar nasional tahun 2008. 

No comments: