Thursday, April 24, 2008

Ada yang Aneh di UN 2008

Hari ini selesai UN 2008 untuk SMA/MA dan SMK. "Bebas euy!" kata para guru dan siswa, yang tentunya akan berbeda di antara mereka memaknai ungkapan tersebut. Yang pasti UN 2008 telah usai, hasilnya (?), ya tunggu aja.

Banyak kenangan yang terjadi pada UN kini, hampir sama dengan sebelumnya. Hanya saja, baik para penyelenggara sekolah maupun siswa sempat dibuat stress akibat isu security yang melibatkan kepolisian (seperti biasa) tetapi lebih ketat dari yang dulu, katanya. Untungnya stress mereka hanya sesaat, terbukti pelaksanaan UN berjalan lancar. Kalaupun kemudian ada di antaranya yang merasa nggak enak badan, itu hal yang klise, takut tidak lulus. Yang jelas-jelas kejadian di UN 2008, seperti diberitakan media cetak maupun elektronik adalah adanya sekolah yang tidak bisa melaksanakan ujian pada jam pertama di hari pertama akibat telatnya soal tiba di sekolah; ada pula yang kebaikan soal kotor oleh tinta cetakan sehingga harus mphoto copy terlebih dahulu; ada siswa yang terpaksa harus ujian di LP, dll. Yang tidak kalah menariknya, bapak mendiknas hanya bisa melihat para siswa ujian dari kaca jendela. Sebab memang aturannya demikian, bahkan seperti di kab. Sumedang (juga di kabupaten lain ya) pa kadis bilang kalaupun pa bupati yang datang ke sekolah, jangan biarkan masuk kelas.

Adapun yang aneh di UN 2008, panitia penyelenggara sekolah yang bekerja dua bulanan kebagian honor relatif sangat kecil dan secara angka lebih kecil daripada pengawas ruang ujian yang hanya bekerja tiga hari, itu pun dari pukul 08.00 s/d 12.30. Katanya honor satu paket panitia itu (bukan perorangan) hanya Rp 380.000,00 belum dipotong PPH 15%, padahal katanya dulu lebih besar dari itu.

Bagi sebagian panitia tentu menganggap hal ini tidak adil jika diukur dengan tanpa mengingat bahwa guru itu pahlawan tanpa tanda jasa. Atau sekarang bukan jamannya lagi gelaran seperti itu? Bayangkan, pada hari H saja, seorang panitia harus nyubuh ngambil soal ke sekolah tempat penyimpanan soal yang jaraknya bisa sampai dua puluh kiloan, bahkan lebih, belum lagi dua hari pertama dari subuh sampai pukul 07.30 hujan yang berarti pengambil soal yang pakai motor harus berbasah-basahan. Selepas ujian, LJK pun harus diserahkan ke disdik kabupaten yang kejadiannya tidak berbeda dengan pengambilan soal. Tambah lagi dan sebagainya dan sebagainya. Tapi memang, guru masih harus menjadi pahlawan tanpa tanda jasa.

Kalau begitu, kiranya pantas jika sekolah memungut uang ujian kepada orangtua siswa, walaupun pemerintah sudah menegaskan untuk tidak melakukan hal demikian, sepenuhnya biaya UN dari pemerintah. Tapi, apa betul logis jika sekolah memungut biaya ujian?

Kata doktor Tafsir ketika saya kuliah, pendidikan itu mahal. Menghadapi kenyataan sekarang termasuk kejadian UN yang baru saja selesai, lantas siapa yang harus membayar mahal biaya pendidikan? Pemerintahkah, pihak swastakah, sekolahkah, ataukah orangtua siswa?

Jika kita peduli terhadap pendidikan, kitalah penentu keberhasilan pendidikan, sebab pastinya semua pihak harus bertanggung jawab terhadap keberlangsungan pendidikan itu. Hanya permasalahannya, sudah banyakkah pihak di luar pemerintah yang siap memajukan pendidikan dilihat dari segi biaya? Padahal pa Wapres sudah memperingatkan jika subsidi pemerintah terus-terusan dilanjutkan secara instant, maka di tahun 2011 pembangunan akan berhenti. Atau paling tidak, bagaimana prosentase yang ideal dalam pembagian biaya pendidikan?

Yang terpenting sekarang, tentunya sukseskan pendidikan. Kita harus malu oleh negara-negara lain yang di tahun 80-an berada di belakang kita sementara sekarang sudah jauh mendahului. Selangkah berarti, selangkah lebih maju, selangkah sukses. Ok!

 

No comments: