Sunday, April 20, 2008

Yang Tertinggal dari Kartini

Raden Ajeng Kartini atau sebenarnya lebih tepat disebut Rade Ayu Kartini (Jepara, 21 April 1879 - Rembang, 17 September 1904) adalah seorang tokoh Jawa dan Pahlawan Nasional Indonesia. Kartini dikenal sebagai pelopor kebangkitan perempuan pribami.

Masih banyak orang yang tahu siapa itu RA Kartini (jika belum kunjungi http://id.wikipedia.org/wiki/Kartini - tulisan ini pun materi pokoknya dari sana, atau perpustakaan terdekat). Termasuk darimana karier ketenaran Kartini orang tahu, yakni di antaranya dari kumpulan surat-surat yang pernah dikirimkan Kartini pada teman-temannya di Eropa. Surat-surat itu dikumpulkan dan dibukukan oleh Mr. J.H. Abendanon yang saat itu menjabat Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda. Buku itu berjudul Door Duisternis tot Licht yang artinya Habis Gelap Terbitlah Terang.

Terbitnya surat-surat Kartini, seorang perempuan pribumi, sangat menarik perhatian masyarakat Belanda dan pemikiran-pemikirn Kartini mulai mengubah pandangan masyarakat Belanda terhadap perempuan pribumi di Jawa. Pemikiran-pemikiran Kartini yang tertuang dalam surat-suratnya juga menjadi inspirasi bagi tokoh-tokoh kebangkitan nasional Indonesia.

Kartini menulis ide dan cita-cita seperti tertulis: Zelf onwikkeling dan Zelf onderricht, Zelf vertrouwen dan Zelf werkzaamheid dan juga Solidariteit. Semua itu atas dasar Religieusiteit, Wijsheid en Schoonheid (yaitu ketuhanan, kebijaksanaan, dan keindahan) ditambah dengan Humanitarianisme (peri kemanusiaan) dan Nasionalisme (cinta tanah air).

Lantas apa yang dimaksud "yang tertinggal dari Kartini?"

Tujuan penulisan ini tidak semata karena latah melihat cacat seseorang lantas dipublikasikan. Tapi justru memang ada yang tertinggal dari Kartini, yang tidak dipraktekkan oleh Kartini dan Kartono setelahnya, yakni menulis danmembaca. Kebanyakan orang menonjolkan emansipasi dan kesetaraan gender dari hikmah Kartini, sementara cikal bakalnya dikesampingkan, yang pada akhirnya justru memunculkan permasalahan lain. (ini tidak dilanjutkan, sebab bukan tujuan pokok)

Yang pasti, kita (kalau kata si Ruben Onsu lu aja kali gua enggak) akui bahwa kebiasaan Kartini menulis, baik surat maupun artikel (beberapa tulisannya dimuat di De Hollandsche Lelie) juga membaca (buku-buku, koran, majalah Eropa) hampir terlupakan, tergilas oleh isu gender dan emansipasi. Padahal pengalaman Kartini yang ini bukan buat perempuan saja, tetapi buat semua orang.

Membaca itu penting lho, bisa jadi wajib, terlebih bagi orang Islam yang memiliki kitab suci al-Quran dengan ayat yang pertamanya diawali kata "iqra" (bacalah!) Sepertinya kegiatan membaca ini sudah memasyarakat di kalangan bangsa Indonesia sekarang, hanya saja apa yang dibacanya (?). Tinggal diarahkan ya kalau belum lurus.

Menulis yang berarti: 1) membuat huruf (angka) dengan pena, 2) melahirkan pikiran atau perasaan (spt mengarang, membuat surat, membuat artikel ini, dsb) dengan tulisan, 3) menggambar, melukis, 4) membatik kain. (KUBI) Kegiatan yang ini dipandang hanya untuk mereka-mereka yang berprofesi penulis, jurnalis, pelukis, pembatik tulis. Di luar profesi itu banyak yang melupakan bahwa tulisan Kartini turut serta memerdekakan Indonesia.

Lalu mengapa harus menulis?

Dengan menulis akan terlahir sebuah kreasi atau inovasi, yang keduanya sangat diperlukan bagi pembangunan bangsa dan negara ini. Prof. George W. Ladd dalam Artistic Research Tools for Scientific Minds bahkan menyatakan bahwa suatu uraian dan pemikiran menarik melalui proses mental bawah sadar berupa imajinasi dan intuisi yang membantu kemajuan usaha.

Permasalahannya, menulis memang merupakan pekerjaan berat dan membosankan bagi kebanyakan orang. Tapi bagi orang-orang tertentu menulis merupakan suatu kenikmatan dan kesempatan mengeksploitasi imajinasi dan intuisinya. Orang-orang semacam ini intuisinya akan bekerja apabila ia memulai menulis. Mungkin saja pada mulanya ia tak mempunyai ide apa yang akan ditulis. Tapi kalau sudah menyatu dengan hati, setiap saat akan menjadi sumber ide dan ditulis.

Sekedar untuk diketahui saja, bagi para penulis (sepertinya sama bagi yang lain), pada waktu ia menulis dia hanya tahu kalimat pertama saja dan samar-samar pikirannya dan ia tidak tahu apa kalimat selanjutnya. Tapi bila ia mulai, maka intuisinya muncul terus-menerus dan selesailah pekerjaan menulisnya.

Bagaimana kalau mulai sekarang segera kita menulis? Takut mati berarti mati.

No comments: